Jumat, 06 Juni 2014

PENGENTINGKAT KESEHATAN BANK (CAMELS)

Kesehatan atau kondisi keuangan dan non keuangan Bank merupakan kepentingan semua pihak terkait, baik pemilik, pengelola (manajemen) Bank, masyarakat pengguna jasa Bank, Bank Indonesia selaku otoritas pengawasan Bank, dan pihak lainnya. Kondisi Bank tersebut dapat digunakan oleh pihak-pihak tersebut untuk mengevaluasi kinerja Bank dalam menerapkan prinsip kehati-hatian, kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku dan manajemen risiko.
Perkembangan industri perbankan, terutama produk dan jasa yang semakin kompleks dan beragam akan meningkatkan eksposur risiko yang dihadapi Bank. Perubahan eksposur risiko Bank dan penerapan manajemen risiko akan mempengaruhi profil risiko Bank yang selanjutnya berakibat pada kondisi Bank secara keseluruhan.
Perkembangan metodologi penilaian kondisi Bank senantiasa bersifat dinamis sehingga sistem penilaian tingkat kesehatan Bank harus diatur kembali agar lebih mencerminkan kondisi Bank saat ini dan di waktu yang akan datang. Pengaturan kembali tersebut antara lain meliputi penyempurnaan pendekatan penilaian (kualitatif dan kuantitatif) dan penambahan faktor penilaian.
Bagi perbankan, hasil akhir penilaian kondisi Bank tersebut dapat digunakan sebagai salah satu sarana dalam menetapkan strategi usaha di waktu yang akan datang sedangkan bagi Bank Indonesia, antara lain digunakan sebagai sarana penetapan dan implementasi strategi pengawasan Bank.
Untuk hal tersebut Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia No. 6/10/PBI/2004 dan Surat Edaran Bank Indonesia No.6/ 23 /DPNP Tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum.
Tingkat Kesehatan Bank adalah hasil penilaian kualitatif atas berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi atau kinerja suatu Bank melalui Penilaian Kuantitatif dan atau Penilaian Kualitatif terhadap faktor-faktor Capital, Asset Quality, Management, earning, liquidity dan sensitivity to market risk yang disingkat CAMELS.
Penilaian terhadap faktor tersebut secara umum dapat diuraikan sebagai berikut :
2.1. Permodalan (Capital)
Penilaian terhadap faktor permodalan meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:
•   Kecukupan, komposisi, dan proyeksi (trend ke depan) permodalan serta kemampuan permodalan Bank dalam mengcover aset bermasalah. 
•  Kemampuan Bank memelihara kebutuhan penambahan modal yang berasal dari keuntungan, rencana permodalan Bank untuk mendukung pertumbuhan usaha, akses kepada sumber permodalan, dan kinerja keuangan pemegang saham untuk meningkatkan permodalan Bank.
2.2. Kualitas Aset (Asset Quality)
Penilaian terhadap faktor kualitas aset meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:
a.Kualitas aktiva produktif, konsentrasi eksposur risiko kredit, perkembangan aktiva produktif bermasalah, dan kecukupan penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP).
b.Kecukupan kebijakan dan prosedur, sistem kaji ulang (review) internal, sistem dokumentasi, dan kinerja penanganan aktiva produktif bermasalah. 
2.3. Manajemen (Management)
Penilaian terhadap faktor manajemen meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:
•             Kualitas manajemen umum dan penerapan manajemen risiko
•             Kepatuhan Bank terhadap ketentuan yang berlaku dan komitmen kepada Bank Indonesia dan atau pihak lainnya.

2.4. Rentabilitas (Earning)
Penilaian terhadap faktor rentabilitas meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:
•             Pencapaian return on assets (ROA), return on equity (ROE), net interest margin (NIM), dan tingkat efisiensi Bank.
•             Perkembangan laba operasional, diversifikasi pendapatan, penerapan prinsip akuntansi dalam pengakuan pendapatan dan biaya, dan prospek laba operasional.

2.5. Likuiditas (Liquidity)
Penilaian terhadap faktor likuiditas meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:
•             Rasio aktiva/pasiva likuid, potensi maturity mismatch, kondisi Loan to Deposit Ratio (LDR), proyeksi cash flow, dan konsentrasi pendanaan.
•             Kecukupan kebijakan dan pengelolaan likuiditas (assets and liabilities management / ALMA), akses kepada sumber pendanaan, dan stabilitas pendanaan.

2.6. Sensitivitas Terhadap Risiko Pasar (Sensitivity To Market Risk)
Penilaian terhadap faktor sensitivitas terhadap risiko pasar meliputi penilaian terhadap
komponen-komponen sebagai berikut:
•             Kemampuan modal Bank dalam mengcover potensi kerugian sebagai akibat fluktuasi (adverse movement) suku bunga dan nilai tukar.
•             Kecukupan penerapan manajemen risiko pasar.

Untuk penetapan peringkat setiap komponen dilakukan perhitungan dan analisis dengan mempertimbangkan indikator pendukung dan atau pembanding yang relevan dengan mempertimbangkan unsur judgement yang didasarkan atas materialitas dan signifikansi dari setiap komponen yang dinilai.
Berdasarkan hasil penetapan peringkat setiap faktor ditetapkan Peringkat Komposit (composite rating) sebagai berikut:
•             Peringkat Komposit 1 (PK-1), mencerminkan bahwa Bank tergolong sangat baik dan mampu mengatasi pengaruh negatif kondisi perekonomian dan industri keuangan.

•             Peringkat Komposit 2 (PK-2), mencerminkan bahwa Bank tergolong baik dan mampu mengatasi pengaruh negatif kondisi perekonomian dan industri keuangan namun Bank masih memiliki kelemahan-kelemahan minor yang dapat segera diatasi oleh tindakan rutin.


•             Peringkat Komposit 3 (PK-3), mencerminkan bahwa Bank tergolong cukup baik namun terdapat beberapa kelemahan yang dapat menyebabkan peringkat kompositnya memburuk apabila Bank tidak segera melakukan tindakan korektif.

•             Peringkat Komposit 4 (PK-4), mencerminkan bahwa Bank tergolong kurang baik dan sensitif terhadap pengaruh negatif kondisi perekonomian dan industri keuangan atau Bank memiliki kelemahan keuangan yang serius atau kombinasi dari kondisi beberapa faktor yang tidak memuaskan, yang apabila tidak dilakukan tindakan korektif yang efektif berpotensi mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya.


•             Peringkat Komposit 5 (PK-5), mencerminkan bahwa Bank tergolong tidak baik dan sangat sensitif terhadap pengaruh negatif kondisi perekonomian dan industri keuangan serta mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya.

Komentar : pada keterangan di atas sudah jelas bahwa pentingnya kesehatan bank yang meliputi permodalan, asset kualitas, manajemen, rentabilitas, likuiditas, dan sensitivitas terhadap risiko pasar .

DAFTAR PUSTAKA

http://farid-silentheart.blogspot.com/2013/06/bab-9-pengenalan-rasio-keuangan-bank.html
http://chianjell.blogspot.com/2013/06/bab-9-pengenalan-rasio-keuangan-bank.html
http://hehepangibulan.blogspot.com/2013/05/6tingkat-kesehatan-bank-camels.html

Otoritas Jasa Keuangan

OJK (Otoritas Jasa Keuangan)

Kinerja Otoritas Jasa Keuangan ( (3/5/2014)OJK) akhir-akhir ini dipertanyakan. Baik dari lembaga perbankan dan pasar modal mempertanyakan benefit apa dapat yang mereka peroleh
Talkshow dengan tema haruskan OJK dibubarkan yang bertempat di Cikini, Jakarta Pusat. Hadir sebagai pembicara Haryajid Ramelan, Sekjen Asosiasi Profesi Pasar Modal Indonesia dan Ryan Kiryanto, pengamat perbankan Indonesia.

Keberadaan OJK harus memberikan benefit terhadap lembaga bank dan nonbank. "Pasar modal harus diberikan kesempatan berkembang karena bukan lembaga perbankan,"ujar Haryajid.

Lebih lanjut ia mengatakan keberadaan OJK sudah seharusnya memberikan sertifikasi kepada pasar modal. Hal ini dianggap wajar oleh pasar modal karena industri lain mempunyai lembaga sertifikasi.

"Selain itu juga dibutuhkan peran profesi dibutuhkan dalam membangun pasar modal profesi,"ujarnya.

Adanya kemauan pihak industri mendapatkan hak benefit juga disampaikan oleh pengamat perbankan. "Pelaku industri harus mempunyai hak apa benefit, agar bank lebih mudah diawasi dan lebih transparan,"ujar Ryan.

Menurutnya Bank Indonesia sebagai bank sentral pada waktu itu tidak melakukan pungutan, namun memberlakukan denda dan penalti.

Lembaga keuangan juga meminta adanya sumbangsih yang diperoleh dari wajib pajak, informasi yang transparan, OJK bertanggung jawab terhadap semua bank agar tidak gagal karena mempunyai mandat.
sumber : http://www.tribunnews.com/bisnis/2014/05/03/ojk-harus-memberikan-benefit-bagi-lembaga-bank-dan-nonbank

KEJAHATAN PERBANKAN

Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Harry Azhar Azis, mengingatkan pemerintah dan Bank Indonesia mewaspadai kasus pembobolan dana dan aset nasabah yang melibatkan oknum karyawan bank. Kejahatan jenis tersebut, kata Harry, punya kecenderungan meningkat trennya.
Hal tersebut disampaikan Harry menanggapi peningkatan kasus pembobolan dana dan aset nasabah yang melibatkan oknum nasabah bank. Kasus terbaru adalah dugaan pemalsuan emas milik Ratna Dewi seberat 59 kilogram.
Emas tersebut -disebutkan- digadaikan oknum di BRI. Polisi telah menetapkan 7 oknum karyawan BRI sebagai tersangka. Sementara dalam gugatan perdatanya, dikabarkan, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (2/10/2013) silam memutuskan pihak BRI terbukti melakukan perbuatan melawan hukum atas sengketa jaminan kredit berupa logam mulia 59 Kilogram. Majelis hakim juga memerintahkan BRI membayar ganti rugi materiil sebesar Rp 31.860.000 dan imateriil sebesar Rp 5 miliar.
"Fenomena ini tidak lepas dari lemahnya pengawasan Bank Indonesia sehingga hampir setiap dua bulan media memberitakan kasus pembobolan dana atau asset nasabah bank. Selain itu, menurut politisi Golkar tersebut, jika fungsi mediasi BI bisa dimaksimalkan, mestinya kasus fraud tidak harus berlanjut ke meja hijau, yang kerap merugikan nasabah, karena prosesnya lama dan berbelit-belit," kata Harry dalam rilis yang diterima Tribunnews.com, Kamis (24/10/2013)
Harry mencontohkan, kasus sengketa pembobolan dana deposito milik PT Elnusa Tbk di Bank Mega yang telah berlangsung lebih dari 2 tahun. Bank itu, kata Harry, bersikeras tidak mau mengembalikan dana deposito Elnusa, kendati PN Jakarta Selatan pada 22 Maret 2012 Nomor: 284/PDT.G/2011/PN.JKT.SEL memutuskan Bank Mega harus mengembalikan dana deposito Elnusa sebesar Rp 111 milyar, beserta bunga 6% per tahun.
Menurut Harry, manajemen Bank Mega dan Bank BRI mestinya bisa mencontoh praktik penyelesaian kasus yang dilakukan manajemen Citibank yang langsung mengganti kerugian nasabahnya, setelah itu baru mempidanakan pelakunya, yang tak lain  karyawannya sendiri.
Senada, Direktur Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Bahrain, juga mengaku prihatin dengan lemahnya pelaksanaan risk management perbankan nasional.
“Hampir seluruh bank nasional pernah mengalami fraud. Baik bank swasta maupun BUMN. Ini menunjukan lemahnya penerapan manajemen risiko dan perlindungan terhadap nasabah bank,” ujarnya.
YLBHI disebutkan sejak awal Oktober 2013 membuka posko pengaduan nasabah bank di 15 kota di Indonesia, melakukan penelitian, bahkan menggelar focus group discussion tentang kasus pembobolan nasabah bank.
Lembaga tersebut juga menyebut telah memantau proses hukum pembobolan dana nasabah,baik di tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun kasasi. Proses monitoring perlu dilakukan agar peradilan berjalan sesuai prinsip keadilan.
YLBHI, dikatakan, telah mengirimkan surat ke Gubernur Bank Indonesia dengan Nomor:215/SK/YLBHI/2013. Isinya, mendesak Bank Indonesia (BI) memprioritaskan pengembalian dana nasabah yang dibobol oleh oknum karyawan bank, seperti dalam kasus pembobolan dana milik Elnusa di Bank Mega, serta kasus pembobolan lainnya.

YLBHI juga mendesak BI agar meningkatkan pengawasan perbankan, dan rapkan prinsip non diskriminasi, transparansi dan akuntabilitas sesuai ketentuan PBI No 5/ 8/ PBI/ 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.
sumber : http://www.tribunnews.com/bisnis/2013/10/24/waspada-tren-kejahatan-perbankan-libatkan-oknum-karyawan

MASALAH BESAR DI BANK SYARIAH

MASALAH BESAR DI BANK SYARIAH

Berikut ini ada 3 masalah besar di bank syariah, sebagai berikut :
Pertama, ketersediaan produk dan standarisasi produk perbankan syariah. Hal ini dikarenakan selama ini masih banyak bank syariah yang belum menjalankan bisnisnya sesuai prinsip syariah. Standardisasi ini diperlukan dengan alasan industri perbankan syariah memiliki perbedaan dengan bank konvensional. Apalagi, produk bank syariah tidak hanya diperuntukkan bagi nasabah muslim, melainkan juga nasabah nonmuslim.
Kedua, tingkat pemahaman (awareness) produk bank syariah. Hingga saat ini, sangat sedikit masyarakat yang tahu tentang produk-produk perbankan syariah dan istilah-istilah di perbankan syariah. "Hanya sekitar 30 persen dari sumber daya yang direkrut mengetahui istilah perbankan syariah serta tingkatawareness-nya," tambahnya.
Selain itu, masalah ketiga industri perbankan syariah adalah sumber daya manusia (SDM). Masalah yang terjadi adalah pihak perbankan kesulitan untuk mencari SDM perbankan syariah yang berkompeten dan mumpuni. "Kami justru banyak mengambil SDM untuk perbankan syariah dari perbankan konvensional dan SDM-SDM yang potensial. Sangat sedikit SDM yang diambil atau lulusan perguruan tinggi syariah," katanya.
Menurut Achmad kecenderungan mengambil SDM dari luar perguruan tinggi syariah karena SDM di perbankan syariah biasanya justru mudah diberikan pengetahuan tentang perbankan syariah.
Dari sisi karir, Achmad juga mengiming-imingi kemudahan untuk bersaing dibandingkan dengan karir di perbankan konvensional. "Rata-rata motivasi mereka bekerja adalah mencari karir dan pendapatan. Secara karir, SDM perbankan syariah tidak kalah dengan perbankan syariah, karena orangnya minim sehingga mudah untuk naik jenjang karir. Beda dengan perbankan konvensional yang sudah jenuh," jelasnya.
Sekadar catatan, Bank Indonesia memproyeksi industri perbankan syariah bisa memiliki pangsa pasar sebesar 15 persen pada 10 tahun mendatang (atau sekitar tahun 2022) apabila bisa mengalami pertumbuhan yang stabil seperti beberapa tahun terakhir.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Halim Alamsyah yang saat ini menjadi anggota Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan industri perbankan syariah mengalami pertumbuhan dengan rerata 40,5 persen per tahun, dalam setengah dasawarsa terakhir. Pertumbuhan tersebut dua kali lebih cepat dibandingkan dengan perbankan konvensional sehingga pangsa pasarnya terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Namun saat ini pangsa pasarnya (berdasarkan aset) masih sekitar 4 persen.

sumber : http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/08/13/15282835/Tiga.Masalah.Terbesar.di.Bank.Syariah

PROBLEM PERBANKAN

PROBLEM PERBANKAN

Problem Perbankan Syariah Di Tahun 2013 2014 -Indonesia adalah negara dengan mayoritas umat islam yang cukup banyak yaitu sebesar 202.867.000jiwa  (88,2 % dari total penduduk).  Bila dikaji lebih dalam terdapat 5 permasalahan yang membuat pasar perbankan syariah di Indonesia kurang berkembang yaitu sebagai berikut:

1)Kurangnya sosialisasi kepada masyarakat

Masyarakat banyak yang tidak memahami perbedaan antara bank syariah dengan bank konvensional. Masyarakat hanya diberi tahu kalau bunga bank konvensional riba tapi tidak mengerti mengapa bunga bank tersebut dikategorikan riba. Istilah-istilah bank syariah seperti mudharabah, muarhabah, ijarah, dll pun masih kurang populer di masyarakat.

2)Pendidikan mengenai perbankan syariah sulit didapatkan

Tidak banyak kursus atau pelatihan yang tersedia mengenai perbankan syariah, selama ini pendidikan bank syariah terbatas pada seminar-seminar singkat saja. Di fakultas ekonomi di universitas terbesar seperti Universitas Indonesia pun, masih belum banyak mata kuliah tentang perbankan syariah. Karena memadukan ilmu syariah dan ilmu ekonomi, banyak ahli di salah satu kedua bidang tersebut kurang memahami bidang lainnya. Sertifikasi pendidikan tenaga kerja di bidang ekonomi syariah juga bukan persyaratan untuk berkerja di bank syariah.

3)Bank Syariah lebih mengedepankan tujuan profit daripada fungsi sosialnya

Terdapat kasus dimana bank syariah memberikan sistem bagi hasil yang memberatkan nasabah. Bagi hasil dinilai dari penjualan dan bagian untuk bank syariah terlalu besar. Kondisi ini akhirnya membuat pengusaha terutama UKM beralih ke bank konvensional yang memberikan kredit berbunga kecil untuk UKM karena beban bunganya dirasa lebih ringan. Banyak juga terdapat kasus, pengusaha pura-pura rugi agar tidak membayar bagi hasil untuk bank syariah. Hal ini semakin mendorong bank syariah untuk memakai sistem bagi hasil dari penjualan.

Karena inggin meniru produk bank konvensional, bank syariah meniru sistem obligasi dan kartu kredit. Dimana semestinya pinjaman dari
Apakah Saudara Ingin Sembuh Dari Gangguan Ejakulasi Dini Lemah Syahwat Dan Disfungsi Ereksi? Klik Disini Sekarang
Bank syariah seharusnya untuk kredit produktif dan UKM bukan untuk kredit konsumtif dan konglomerat. Bila dari kredit konsumtif seperti kartu kredit, maka sulit diketahui darimana cara pembagian hasilnya yang sesuai syariah, hanya bisa ditagih biaya administrasi saja, karena selain itu adalah riba (pengembalian pinjaman melebihi pokok).

4)Peraturan mengenai Bank Syariah belum memadai

UU PPh 2008 menyebutkan bahwa terdapat peraturan perpajakan khusus untuk bank syariah namun hingga kini peraturan tersebut belum diterbitkan. UU PPN yang lama (sebelum diperbaharui dengan UU no 42 Thn 2009) tidak menspesifikasi pertauran tentang perbankan syariah.  Secara general, UU PPN pasal 4 hanya membebaskan jasa pembiayaan dari jasa yang terkena PPN yang akhirnya membuat permasalahan pada transaksi murahabah. Pada transaksi murahabah, yang sepintas mirip sewa guna usaha dengan hak opsi, dianggap terjadi transaksi jual-beli sehingga terkena PPN. Hal ini sangat merugikan bank syariah karena mereka walaupaun tidak menganggap transaksi murahabah sebagai jasa pinjaman denagn imbalan bunga namun akibat beban PPN terhadap transaksi tersebut akan menimbulkan dampak ekonomi beralihnya nasabah dari transaksi tersebut. UU PPn 2009 sudah memberikan netralitas denagn membebaskan transaksi murahabah dari PPN. Namun belum mengatur transaksi-transaksi lainnya.

PSAK pun kesulitan dalam membuat standar akuntansi untuk bank syariah karena selama ini PSAK hanya berkiblat pada FASB (standar akuntansi USA). Laporan keuangan bank syariah terbesar seperti Bank Syariah Mandirihanya memperhatikan PSAK no. 59 yang mengatur akuntansi bank syariah secara umum dan PSAK no 101 tentap susunan laporan keuangannya. Sedangkan PSAK No. 102-110 belum diadopsi secara luas.

5) Sarana dan Prasarana masih kalah dibandingkan bank konvensional

Bank syariah masih sulit ditemui cabangnya terutama bila bersaing dengan cabang-cabang bank konvensional.  Banyak bank konvensional yang satu atap dengan cabang syariahnya. Hal ini membuat ketidakjelasan akan pemisahan dana yang dikelola untuk sistem perbankan syariah dengan yang dikelola oleh sistem perbankan konvensional.

Dengan memperhatikan hal-hal di atas, semoga perbankan syariah di Indonesia dapat berbenah diri  sehingga perbankan syariah dapat terus berkembang dengan tidak melupakan tujuan aslinya yaitu memberikan fasilitas lembaga keuangan masyarakat yang terbebas dari unsur riba dan unsur haram lainnya.

sumber : http://lemah-syahwat.antiloyo.com/2013/08/problem-perbankan-syariah-di-tahun-2013.html